Pembahasan keindahan menurut pandangan di Timur dilakukan berdasarkan kebudayaan tertua yang dipandang paling mendominasi perkembangan peradaban Timur di masa lalu. Ada tiga kebudayaan tertua dan membawa pengaruh luas terhadap perkembangan kebudayaan, termasuk falsafah tentang keindahan di belahan bumi bagian timur, yaitu Cina, Timur Tengah (Islam), dan India.
Pandangan Keindahan di Cina
Bangsa Cina di dalam peradabannya menganut kepercayaan bernama Tao yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Secara harfiah Tao berarti jalan atau marga. Ada pula yang mengartikan Tao sebagai sinar terang dan sumber dari segala sumber yang ada. Bagi bangsa Cina, manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Tao adalah kemutlakan, sesuatu yang memberikan keberadaan, kehidupan, dan kedamaian. Kepercayaan inilah yang menjadi salah satu landasan estetika Cina. Barang-barang buatan manusia dianggap indah apabila dinafasi oleh Tao.
Penjelasan di atas cukup memberikan pemahaman bahwa konsep keindahan bangsa Cina berlandas pada kepercayaan Tao. Setiap barang buatan/ciptaan manusia dipandang indah jika merefleksikan kesadaran Tao. Namun demikian, keindahan pada sebuah karya tidak dipandang sebagai totalitas yang sempurna. Potensi buruk dianggap selalu hadir pada karya yang indah. Demikian pula sebaliknya, pada karya yang buruk dipandang memiliki potensi keindahan. Pandangan ini dibentuk oleh filsafat Yin dan Yang yang dianggap mengandung seluruh aspek kehidupan manusia.
Filsafat Yin dan Yang disimbolkan dengan sebuah lingkaran yang mengandung dua unsur, seperti gambar di bawah ini.
Yin dan Yang |
Bagian yang hitam menyimbolkan Yin sedangkan bagian yang putih menyimbolkan Yang. Di dalam Yang ada titik Yin. Demikian pula sebaliknya, di dalam Yin ada Yang. Titik ini dipandang memiliki daya yang luar biasa, yakni adanya kontradiksi inti yang ada di dalam segala sesuatu. Artinya, tidak ada sesuatu yang seluruhnya (100 %) baik atau buruk, tak ada sesuatu yang seluruhnya indah atau jelek. Titik Yin atau Yang yang terdapat di dalam masing-masing unsur tersebut sebenarnya adalah sesuatu benih yang dapat berkembang di dalam kondisi yang berlawanan.
Filsafat Yin dan Yang menunjukkan bahwa estetikapun pada akhirnya selalu relatif. Di dalam jiwa manusia yang gersang rasa keindahan sesungguhnya masih mungkin dihidupkan roh keindahannya apabila yang bersangkutan mempunyai kekuatan untuk mengubahnya. Sebaliknya, mereka yang berbakat menciptakan keindahan justru dapat kehilangan daya estetiknya apabila kemampuannya tidak pernah dimanfaatkan.
Pada akhir abad V, Hsieh Ho seorang filosof Cina menyusun enam prinsip sebagai dasar bagi para seniman bekerja (kemudian terkenal dengan istilah canon estetika Cina).
- Ch'l Yun Sheng Tung, yaitu bersatunya Roh semesta dengan dirinya sehingga ia mampu menangkap keindahan (dari Tao) dan kemudian menampilkan atau mewujudkan pada karyanya.
- Ku Fa Yung Pi, yaitu kemampuan menyerap Roh Ch'l atau roh kehidupan dengan cara mengesampingkan bentuk dan warna semarak, sehingga warna spiritual akan tampak dalam karya-karyanya. Refleksi prinsip ini tampak pada beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan kesunyian. Seorang pelukis Cina, Tsung Ting (375-443) disebutkan sebagai gambaran bahwa, sebelum melukis pemandangan alam, ia terlebih dahulu melakukan meditasi agar rohnya menjelajahi alam semesta secara bebas.
- Ying Wu Hsiang Hsing, yaitu merefleksikan objek dengan menggambarkan bentuknya: yakni konsekuen terhadap objek atau yang disusunnya. Kaitannya dengan itu, Ch'eng Heng-lo pernah berungkap, "Seni lukis Barat adalah seni lukis mata, sedangkan seni lukis Cina adalah seni lukis idea". Ungkapan itu jelas menunjukkan bahwa seni lukis Cina mementingkan esensinya, bukan eksistensinya.
- Sui Lei Fu Ts'ai, yaitu keselarasan dalam menggunakan warna. Seni lukis Cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional, tetapi lebih bersifat simbolisme.
- Ching Ting Wei Chih, yaitu pengorganisasian, penyusunan, atau perencanaan dengan mempertimbangkan penempatan dan susunan. Seni Cina menganjurkan mengadakan semacam perencanaan terlebih dahulu sebelum berkarya.
- Chuan Mo I Hsieh, yaitu hendaknya membuat reproduksi-reproduksi agar dapat diteruskan dan disebarluaskan.
- Semangat Tao dalam pandangan estetik di Cina begitu mendalam dan menyebar ke berbagai negara di sekitarnya hingga sekarang.
Pandangan Keindahan di Timur Tengah
Estetika di Timur Tengah banyak diwarnai oleh ajaran agama Islam yang berkembang dan berpengaruh luas di kawasan itu. Pandangan-pandangan tentang keindahan yang berkembang dan kemudian mendasari penciptaan karya seni amat terikat oleh aturan-aturan dan fatwa Islam, terutama di negara-negara penganut fanatik agama Islam. Aturan atau fatwa yang berkaitan dengan ekspresi estetik di dalam peradaban Islam di Timur Tengah disadari sebagai sesuatu yang berbeda dengan perkembangan estetika di belahan lain. Ekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup hampir tidak berkembang. Hal itu disebabkan oleh keadaan masyarakat Timur Tengah sebelum Islam, yang pada umumnya menyembah berhala yang berwujud makhluk hidup dan bentuk-bentuk keindahan lain, sehingga segala bentuk yang cenderung menyerupai berhala tidak dibolehkan.
Dalil yang dijadikan landasan pelarangan ekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup adalah riwayat para ahli hadits. Abdullah Bin Umar menyatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Sungguh orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada para pembuatnya: Hidupkanlah ciptaanmu" (Bukhari dan Muslim). Abdullah juga menyatakan bahwa malaikat Jibril tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada gambar dan anjingnya. Selain itu, Anas Bin Malik juga menyatakan bahwa Rasulullah pernah berujar kepada Aisyah untuk menurunkan kelambu yang ada gambarnya karena menganggu shalatnya. Aisyah mengungkapkan perkataan Rasulullah yang pernah dikemukakan kepada Ummi Habibah dan Salamah yang pernah melihat keindahan gambar dan lukisan di Gereja Habasyah bahwa, jika ada orang shaleh meninggal dan di atas kuburnya dibangun mesjid dan melukiskan gambarnya di dalam mesjid itu, mereka adalah sejahat-jahatnya manusia di sisi Allah.
Meskipun demikian, pada konteks estetik dalam arti luas, Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa, "Sungguh Allah telah mengharuskan keindahan dalam segala hal (Muslim), dan Allah itu indah dan gemar keindahan (Muslim dan Tarmizi). Kedua hadits itu bila disimak, sesungguhnya merupakan jawaban terhadap estetika Islam yang tertuang dalam karya seni. Para seniman tidaklah berdosa apabila berkarya dengan maksud untuk ekspresi estetik. Kecuali jika seniman berkarya untuk mencoba menandingi ciptaan Allah atau membuat karya untuk diberhalakan, maka hal itu adalah dosa. Namun demikian, karena penafsiran terhadap hadits selalu berbeda dan kesahihan hadits juga tidak selalu sama, maka banyak seniman Muslim masih menghindari ungkapan estetik yang dianggap melarang tersebut. Pembatasan diri seniman berekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup justru memunculkan dimensi estetik yang unik, yakni bersifat simbolik dan nonnaturalis seperti halnya kaligrafi, ornamen-ornamen geometris, arsitektur mesjid, motif stilasi bentuk tumbuh-tumbuhan pada permadani, dan lainnya.
Berkaitan dengan masih adanya perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya berekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup, Syaikh Muhammad 'Abduh, seorang ulama terkemuka, ahli da'wah al-Azhar yang berpengetahuan luas, terpelajar, dan dikenal jujur, berusaha mencairkan masalah itu dengan memberikan penjelasan-penjelasan rasional. Ia memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap hadits yang menyatakan "Mereka yang paling pedih di Hari Kiamat adalah pembuat gambar". Syaikh Muhammad 'Abduh menyatakan bahwa, hadits tersebut berasal dari masa ketika sifat jahiliyah masih hidup. Pada masa itu, penggambaran dipakai untuk dua tujuan: untuk kepuasan dan untuk mendapatkan berkah dari orang suci atau dari orang yang digambarkan dalam suatu gambaran. Keduanya memang tidak benar dalam ajaran Islam. Jika kedua hal itu telah hilang, dan segi kemanfaatannya lebih menonjol, maka gambar manusia mempunyai status yang sama dengan gambar tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon. Tidak dapat disamaratakan bahwa setiap gambaran dalam setiap keadaan mesti akan disembah; sebab jika demikian halnya maka dapat pula dikatakan bahwa, lidah juga dapat berbohong, lalu apakah karena itu lidah harus dikunci, meskipun lidah dapat pula mengatakan kebenaran di samping kebohongan. Hukum Islam tidak pernah melarang suatu hal yang sangat bermanfaat bagi pengetahuan, apabila bila sudah dapat dipastikan bahwa hal itu tidak berbahaya bagi agama, iman, dan amal.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa para ulama terdahulu tidaklah memandang ringan atau meremehkan ajaran agama, hanyalah karena membolehkan pembuatan gambar dan patung, yaitu terdapatnya kitab-kitab berbahasa Arab yang berisi ilustrasi-ilustrasi di perpustakaan dunia. Hal itu berarti bahwa kaum muslim pada zaman itu mengerjakan kesenian itu tanpa rasa tertekan dan rasa takut, tak pernah terlintas di dalam pikiran mereka untuk meniru ciptaan Allah karena kesombongan atau sakit jiwa, atau sengaja membuat gambar dan patung untuk disembah di samping Allah.
Berdasarkan kecenderungan ekspresi estetik yang menghindari pertentangan dengan ajaran Islam itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa keindahan dalam konteks seni menurut pandangan Islam (Timur Tengah) haruslah tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Sesuatu dapat dikatakan indah apabila sejalan dengan ajaran Islam.
Salah seorang ulama besar Islam yang pandangannya sering dirujuk oleh kaum muslim, yakni al-Gazali, mengemukakan pernyataan-pernyataan tentang keindahan. Salah satu pernyataannya yang dijadikan dasar di dalam membicarakan keindahan, yang sering diulang-ulang dalam kalimat-kalimat pengkajiannya, yaitu ketika ia berbicara dengan hubungan antara cinta dan kesenangan. Al-Gazali menyatakan bahwa, "Setiap yang dilihat yang memberi kesenangan dan kepuasan, dicintai oleh orang yang melihatnya, atau dengan pernyataan berkebalikan bahwa, segala sesuatu dicintai karena terdapat pertalian dengan hal itu ... dan itu adalah yang memberi kesenangan". Berdasarkan pendapat itu, al-Gazali berkesimpulan bahwa, "Segala sesuatu yang indah itu dicintai, karena keindahan itu memberi kesenangan". Pada penjelasan kemudian tampak bahwa keindahan itu dipandang senantiasa seiring dengan kesempurnaan.
Pandangan Keindahan India
Studi-studi tentang estetika India sebagian besar berhubungan dengan puisi dan drama, sangat jarang atau sedikit yang menyebutkan lukisan. Drama lebih banyak mendapat perhatian karena dipandang sebagai seni yang paling bermutu tinggi, ia (drama) meminta perhatian daya lihat atau daya dengar (dua indera yang dianggap paling mampu mengangkat seseorang jauh di atas batasan-batasan "aku" yang sempit seperti pendapat beberapa pemikir India). Di samping itu, bangsa India juga sangat tekun mempelajari kesadaran estetik, baik dari sudut pandang penonton maupun dari sudut pandang seniman. Pandangan-pandangan estetiknya yang berkembang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha yang berpengaruh luas di Wilayah India, sebagaimana halnya estetika di Timur Tengah yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam.
India memiliki pandangan mengenai keindahan yang konon ditulis oleh Bhatara di dalam buku Natyasastra (Book of the Theatre) yang dibuat sekitar abad 5, yaitu sebuah buku yang merupakan fondasi pemikiran estetika India. Pada buku tersebut, Bhatara berpandangan bahwa 'rasa' lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah.
Sementara itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa, untuk mencari pernyataan yang sederhana dan jelas tentang sikap India terhadap problema-problema estetika, tidak perlu mempelajari karya Bhatara tersebut, cukuplah dengan karya Anandavardhana yang merupakan pendekatan-pendekatan terakhir ke masalah itu, walaupun masih berasal dari Bhatara. Anandavardhana meneliti fenomena-fenomena estetika dengan kematangan intelektual dan tanpa terikut-campurnya kasus-kasus psikologisnya.
Sebagai seorang filosof dan retoris di dalam istana Avantivarman (855-883), Anandavardhana-lah penemu aliran dhavani (resonasi = keselarasan jiwa). Awal mula penemuannya ialah dia merasakan adanya perbedaan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa puisi. Dari situlah kemudian ia mengutarakan batasan-batasan jelas yang memisahkan bahasa puisi dari bahasa pragmatis yang dipergunakan sehari-hari. Secara singkat dia berkata bahwa, kata-kata mendapat nilai, arti, dan kemampuan baru dari puisi. Ini semua muncul berbarengan dengan arti harfiah dan arti metaforis yang tidak dapat hadir tanpa kedua sifat itu. "Arti puitis berbeda dengan arti biasa (konvensional): di dalam kata-kata seorang seniman agung, memancar keluar sesuatu yang berbeda dengan yang dikandung oleh bagian kata-kata itu bila berdiri sendiri; sesuatu yang menyerupai efek keluwesan di dalam diri seorang wanita".
Pernyataan lain Anandavardhana dikatakan bahwa, arti puitis tidaklah dapat dimengerti hanya dengan mempelajari tata bahasa dan kamus semata; hanya mereka yang mengerti apa sesungguhnya puisi itulah yang dapat meraihnya. Mereka yang ingin menjadi seniman yang sebenarnya haruslah mempelajari arti kata itu secara intensif, ibarat seseorang yang ingin melihat sesuatu di dalam kegelapan haruslah lebih dahulu mendapatkan lampu penerang. Demikian halnya mereka yang sangat ingin mengerti arti puitis, taraf permulaan harus mengerti arti harfiah, sebab arti sebuah kalimat baru dapat diraih bila melalui arti kata demi kata.
Pemikir Khasmir, Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetik adalah semacam jatuhnya wahyu, artinya kebekuan rohani kita tersingkirkan sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan cakrawala yang luas. Menurutnya, hakikat rasa bukanlah meniru, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego dan menjadikannya pengalaman umum. Lewat pengalaman estetik, horizon kita diperluas, rasa yang diwahyukan itu bukan persepsi akal budi melainkan suatu pengalaman yang penuh dengan kebahagian, akhirnya kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan sampai kepada Brahmana Tertinggi.
Dari ucapan terakhir ini tampak juga suatu ciri lain dari alam pikiran India, yakni kesadaran bahwa pengalaman estetik tidak jauh dari pengalaman religius. Di dalam pengalaman estetik pun kenyataan seolah-olah mengalami suatu transformasi, memperoleh suatu arti yang serba baru, namun itu hanya untuk sementara. Pengalaman estetik tidak bersifat langgeng, lain dengan yang terdapat di dalam pengalaman religius. Di dalam pengalaman religius, tali-temali "Aku" dan "Milikku" sudah terurai sama sekali, sedangkan di dalam pengalaman estetik proses penguraian baru dimulai. Kenikmatan estetis selalu dibayangi oleh suatu rasa kurang tenang dan tentram.
Kaum Budhisme mengatakan bahwa pada dasarnya semua yang ada dan kita sekarang ini adalah hasil dari sesuatu yang kita pikirkan. Segala sesuatu itu bersifat fana, segala sesuatu mengandung penderitaan dan segala sesuatu itu tanpa ego, selalu tak membahagiakan. Bagi Budha, benda-benda tidaklah kekal, selalu berubah. Indera kita selalu saja salah dalam mengamati benda sekitarnya. Manusia hanya selalu menatap ilusi belaka. Oleh karena itu, manusia diserukan mempergunakan konsep kesederhanaan dan meminta segala sesuatu secukupnya. Konsep inilah kemudian yang melandasi estetika Budhisme yang tercermin pada seruan yang mengatakan, buatlah segala sesuatu itu seminimal mungkin dan bersahaja. Atas pengaruh konsep inilah sehingga jarang ditemukan kerumitan dalam estetika Budha.
Daftar Pustaka
Sukarman B, 2006. Estetika. Makassar: Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar.
Dalil yang dijadikan landasan pelarangan ekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup adalah riwayat para ahli hadits. Abdullah Bin Umar menyatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Sungguh orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada para pembuatnya: Hidupkanlah ciptaanmu" (Bukhari dan Muslim). Abdullah juga menyatakan bahwa malaikat Jibril tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada gambar dan anjingnya. Selain itu, Anas Bin Malik juga menyatakan bahwa Rasulullah pernah berujar kepada Aisyah untuk menurunkan kelambu yang ada gambarnya karena menganggu shalatnya. Aisyah mengungkapkan perkataan Rasulullah yang pernah dikemukakan kepada Ummi Habibah dan Salamah yang pernah melihat keindahan gambar dan lukisan di Gereja Habasyah bahwa, jika ada orang shaleh meninggal dan di atas kuburnya dibangun mesjid dan melukiskan gambarnya di dalam mesjid itu, mereka adalah sejahat-jahatnya manusia di sisi Allah.
Meskipun demikian, pada konteks estetik dalam arti luas, Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa, "Sungguh Allah telah mengharuskan keindahan dalam segala hal (Muslim), dan Allah itu indah dan gemar keindahan (Muslim dan Tarmizi). Kedua hadits itu bila disimak, sesungguhnya merupakan jawaban terhadap estetika Islam yang tertuang dalam karya seni. Para seniman tidaklah berdosa apabila berkarya dengan maksud untuk ekspresi estetik. Kecuali jika seniman berkarya untuk mencoba menandingi ciptaan Allah atau membuat karya untuk diberhalakan, maka hal itu adalah dosa. Namun demikian, karena penafsiran terhadap hadits selalu berbeda dan kesahihan hadits juga tidak selalu sama, maka banyak seniman Muslim masih menghindari ungkapan estetik yang dianggap melarang tersebut. Pembatasan diri seniman berekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup justru memunculkan dimensi estetik yang unik, yakni bersifat simbolik dan nonnaturalis seperti halnya kaligrafi, ornamen-ornamen geometris, arsitektur mesjid, motif stilasi bentuk tumbuh-tumbuhan pada permadani, dan lainnya.
Berkaitan dengan masih adanya perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya berekspresi estetik yang menggambarkan makhluk hidup, Syaikh Muhammad 'Abduh, seorang ulama terkemuka, ahli da'wah al-Azhar yang berpengetahuan luas, terpelajar, dan dikenal jujur, berusaha mencairkan masalah itu dengan memberikan penjelasan-penjelasan rasional. Ia memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap hadits yang menyatakan "Mereka yang paling pedih di Hari Kiamat adalah pembuat gambar". Syaikh Muhammad 'Abduh menyatakan bahwa, hadits tersebut berasal dari masa ketika sifat jahiliyah masih hidup. Pada masa itu, penggambaran dipakai untuk dua tujuan: untuk kepuasan dan untuk mendapatkan berkah dari orang suci atau dari orang yang digambarkan dalam suatu gambaran. Keduanya memang tidak benar dalam ajaran Islam. Jika kedua hal itu telah hilang, dan segi kemanfaatannya lebih menonjol, maka gambar manusia mempunyai status yang sama dengan gambar tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon. Tidak dapat disamaratakan bahwa setiap gambaran dalam setiap keadaan mesti akan disembah; sebab jika demikian halnya maka dapat pula dikatakan bahwa, lidah juga dapat berbohong, lalu apakah karena itu lidah harus dikunci, meskipun lidah dapat pula mengatakan kebenaran di samping kebohongan. Hukum Islam tidak pernah melarang suatu hal yang sangat bermanfaat bagi pengetahuan, apabila bila sudah dapat dipastikan bahwa hal itu tidak berbahaya bagi agama, iman, dan amal.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa para ulama terdahulu tidaklah memandang ringan atau meremehkan ajaran agama, hanyalah karena membolehkan pembuatan gambar dan patung, yaitu terdapatnya kitab-kitab berbahasa Arab yang berisi ilustrasi-ilustrasi di perpustakaan dunia. Hal itu berarti bahwa kaum muslim pada zaman itu mengerjakan kesenian itu tanpa rasa tertekan dan rasa takut, tak pernah terlintas di dalam pikiran mereka untuk meniru ciptaan Allah karena kesombongan atau sakit jiwa, atau sengaja membuat gambar dan patung untuk disembah di samping Allah.
Berdasarkan kecenderungan ekspresi estetik yang menghindari pertentangan dengan ajaran Islam itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa keindahan dalam konteks seni menurut pandangan Islam (Timur Tengah) haruslah tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Sesuatu dapat dikatakan indah apabila sejalan dengan ajaran Islam.
Salah seorang ulama besar Islam yang pandangannya sering dirujuk oleh kaum muslim, yakni al-Gazali, mengemukakan pernyataan-pernyataan tentang keindahan. Salah satu pernyataannya yang dijadikan dasar di dalam membicarakan keindahan, yang sering diulang-ulang dalam kalimat-kalimat pengkajiannya, yaitu ketika ia berbicara dengan hubungan antara cinta dan kesenangan. Al-Gazali menyatakan bahwa, "Setiap yang dilihat yang memberi kesenangan dan kepuasan, dicintai oleh orang yang melihatnya, atau dengan pernyataan berkebalikan bahwa, segala sesuatu dicintai karena terdapat pertalian dengan hal itu ... dan itu adalah yang memberi kesenangan". Berdasarkan pendapat itu, al-Gazali berkesimpulan bahwa, "Segala sesuatu yang indah itu dicintai, karena keindahan itu memberi kesenangan". Pada penjelasan kemudian tampak bahwa keindahan itu dipandang senantiasa seiring dengan kesempurnaan.
Pandangan Keindahan India
Studi-studi tentang estetika India sebagian besar berhubungan dengan puisi dan drama, sangat jarang atau sedikit yang menyebutkan lukisan. Drama lebih banyak mendapat perhatian karena dipandang sebagai seni yang paling bermutu tinggi, ia (drama) meminta perhatian daya lihat atau daya dengar (dua indera yang dianggap paling mampu mengangkat seseorang jauh di atas batasan-batasan "aku" yang sempit seperti pendapat beberapa pemikir India). Di samping itu, bangsa India juga sangat tekun mempelajari kesadaran estetik, baik dari sudut pandang penonton maupun dari sudut pandang seniman. Pandangan-pandangan estetiknya yang berkembang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha yang berpengaruh luas di Wilayah India, sebagaimana halnya estetika di Timur Tengah yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam.
India memiliki pandangan mengenai keindahan yang konon ditulis oleh Bhatara di dalam buku Natyasastra (Book of the Theatre) yang dibuat sekitar abad 5, yaitu sebuah buku yang merupakan fondasi pemikiran estetika India. Pada buku tersebut, Bhatara berpandangan bahwa 'rasa' lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah.
Sementara itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa, untuk mencari pernyataan yang sederhana dan jelas tentang sikap India terhadap problema-problema estetika, tidak perlu mempelajari karya Bhatara tersebut, cukuplah dengan karya Anandavardhana yang merupakan pendekatan-pendekatan terakhir ke masalah itu, walaupun masih berasal dari Bhatara. Anandavardhana meneliti fenomena-fenomena estetika dengan kematangan intelektual dan tanpa terikut-campurnya kasus-kasus psikologisnya.
Sebagai seorang filosof dan retoris di dalam istana Avantivarman (855-883), Anandavardhana-lah penemu aliran dhavani (resonasi = keselarasan jiwa). Awal mula penemuannya ialah dia merasakan adanya perbedaan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa puisi. Dari situlah kemudian ia mengutarakan batasan-batasan jelas yang memisahkan bahasa puisi dari bahasa pragmatis yang dipergunakan sehari-hari. Secara singkat dia berkata bahwa, kata-kata mendapat nilai, arti, dan kemampuan baru dari puisi. Ini semua muncul berbarengan dengan arti harfiah dan arti metaforis yang tidak dapat hadir tanpa kedua sifat itu. "Arti puitis berbeda dengan arti biasa (konvensional): di dalam kata-kata seorang seniman agung, memancar keluar sesuatu yang berbeda dengan yang dikandung oleh bagian kata-kata itu bila berdiri sendiri; sesuatu yang menyerupai efek keluwesan di dalam diri seorang wanita".
Pernyataan lain Anandavardhana dikatakan bahwa, arti puitis tidaklah dapat dimengerti hanya dengan mempelajari tata bahasa dan kamus semata; hanya mereka yang mengerti apa sesungguhnya puisi itulah yang dapat meraihnya. Mereka yang ingin menjadi seniman yang sebenarnya haruslah mempelajari arti kata itu secara intensif, ibarat seseorang yang ingin melihat sesuatu di dalam kegelapan haruslah lebih dahulu mendapatkan lampu penerang. Demikian halnya mereka yang sangat ingin mengerti arti puitis, taraf permulaan harus mengerti arti harfiah, sebab arti sebuah kalimat baru dapat diraih bila melalui arti kata demi kata.
Pemikir Khasmir, Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetik adalah semacam jatuhnya wahyu, artinya kebekuan rohani kita tersingkirkan sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan cakrawala yang luas. Menurutnya, hakikat rasa bukanlah meniru, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego dan menjadikannya pengalaman umum. Lewat pengalaman estetik, horizon kita diperluas, rasa yang diwahyukan itu bukan persepsi akal budi melainkan suatu pengalaman yang penuh dengan kebahagian, akhirnya kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan sampai kepada Brahmana Tertinggi.
Dari ucapan terakhir ini tampak juga suatu ciri lain dari alam pikiran India, yakni kesadaran bahwa pengalaman estetik tidak jauh dari pengalaman religius. Di dalam pengalaman estetik pun kenyataan seolah-olah mengalami suatu transformasi, memperoleh suatu arti yang serba baru, namun itu hanya untuk sementara. Pengalaman estetik tidak bersifat langgeng, lain dengan yang terdapat di dalam pengalaman religius. Di dalam pengalaman religius, tali-temali "Aku" dan "Milikku" sudah terurai sama sekali, sedangkan di dalam pengalaman estetik proses penguraian baru dimulai. Kenikmatan estetis selalu dibayangi oleh suatu rasa kurang tenang dan tentram.
Kaum Budhisme mengatakan bahwa pada dasarnya semua yang ada dan kita sekarang ini adalah hasil dari sesuatu yang kita pikirkan. Segala sesuatu itu bersifat fana, segala sesuatu mengandung penderitaan dan segala sesuatu itu tanpa ego, selalu tak membahagiakan. Bagi Budha, benda-benda tidaklah kekal, selalu berubah. Indera kita selalu saja salah dalam mengamati benda sekitarnya. Manusia hanya selalu menatap ilusi belaka. Oleh karena itu, manusia diserukan mempergunakan konsep kesederhanaan dan meminta segala sesuatu secukupnya. Konsep inilah kemudian yang melandasi estetika Budhisme yang tercermin pada seruan yang mengatakan, buatlah segala sesuatu itu seminimal mungkin dan bersahaja. Atas pengaruh konsep inilah sehingga jarang ditemukan kerumitan dalam estetika Budha.
Daftar Pustaka
Sukarman B, 2006. Estetika. Makassar: Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar.
menarik sekali untuk dibaca
BalasHapusmnctv live